Perang Dingin (Cold War) adalah suatu
istilah yang diberikan untuk persaingan dan konflik antara negara-negara Barat
yang dipimpin Amerika Serikat di satu pihak dengan blok Komunis pimpinan Uni
Soviet dilain pihak. Perang Dingin terjadi setelah Perang Dunia II.
Hakikat perang dingin itu adalah
pertentangan antara dunia bebas dengan Uni Soviet dalam lapangan politik,
ekonomi, militer dan propaganda.
Dalam lapangan militer kedua pihak
membangun persekutuan yang kuat, Amerika membentuk Nato dan Uni Soviet
membangun Pakta Warsawa. Sementara itu terjadi perlombaan persenjataan nuklir
dalam berbagai bentuk.
Selain dalam militer, dalam politik
terdapat persekutuan dan negara satelit. Rusia menguasai Eropa Timur,
terbaginya Jerman menjadi Jerman Timur dan Jerman Barat serta Berlin Barat dan
Berlin Timur.
Yugoslavia dan Jepang mengikuti
politik negara Barat. Cina Komunis dekat dengan Moskow. Iran ingin dikuasai
oleh Rusia, tetapi mendapat teguran hebat dari PBB.
Mengingat kegiatan politik di atas
maka Truman mengeluarkan doktrin (Truman Doctrin) bahwa Amerika akan membantu
negara Eropa dalam bidang ekonomi, militer. Adanya rencana Marshall (Marshall
Plan) yang menetapkan kerja sama USA dengan negara Eropa dalam bidang
pembangunan, membantu Eropa untuk membangun ekonominya kembali.
I.
Akhir
Perang Dingin
Setelah Perang Dunia II usai, Uni
Soviet mengalami penguatan otoritas yang cukup berarti, dengan terbentuknya
hubungan kerjasama diplomatik dengan 52 negara. Soviet ikut serta dalam
konferensi paris tahun 1946, membahas nasib bangsa-bangsa bekas sekutu jerman
seperti: Italia, Bulgaria, Hungaria, Rumania dan Finlandia.
Peranan penting Uni Soviet pasca PD
II adalah keikutsertaannya memperkrasai berdirinya PBB pada tahun 1945 bersama
dengan kekuatan anti-fasis lainnya. Namun kemesraan hubungan negara-negara yang
tergabung dalam koalisi anti-fasisme itu tidak bertahan lama. Pada tahun 1946
Stalin menuduh Inggris dan Amerika Serikat melancarkan kebijakan-kebijakan
internasional yang agresif. Ini dijawab oleh PM Inggris Winston Churchill
dengan menentang kekuatan apa yang disebutnya “Komunis Timur”, yang pada
gilirannya membelah sistem perpolitikan internasional dalam dua blok besar
yakni Blok Barat yang dikomandoi Amerika Serikat dan Inggris dan Blok Timur
oleh Uni Soviet. Amerika Serikat (AS) lalu memperbanyak basis-basis militernya
dan mengurangi volume perdagangan dengan Uni Soviet dan negara-negara sosialis,
sementara Uni Soviet menyelenggarakan kebijakan “Tirai Besi” (mengisolasi
diri).
Konfrontasi dua sistem kekutan ini
dikenal dengan istilah Perang Dingin (1946 sampai akhir 1980-an) yang ditandai
dengan perlombaan senjata, perimbangan kekuatan dan ancaman perang nuklir.
Pada tahun 1949 Jerman, sebagai
negara yang kalah perang dipecah menjadi 3 bagian yang meliputi: Jerman Barat,
Jerman Timur dan Berlin Barat. Pada tahun tersebut Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya di Barat membentuk aliansi yang disebut NATO (Pakta Pertahanan
Atlantik Utara), sedangkan Uni Soviet membentuk SEV atau Dewan Kerjasama
Ekonomi Negara-Negara Sosialis.
Menyadari meningkatkannya suhu
politik internasional dan menguatnya ancaman terhadap negara, maka pemimpin Uni
Soviet menekankan peningkatan teknologi
persenjataan nuklir yang mendorong perimbangan kekuatan senjata terhadap Barat.
Pada tahun 1955 untuk mengimbangi
kekuatan NATO, Soviet membentuk Organisasi Perjanjian Warshawa (OWD) atau yang
lebih dikenal dengan Pakta Warsawa. Dan pada tahun 1957 di Eropa dibentuk
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Pemerintah Kruschev mencanangkan
koeksistensi damai (mirnoe sosushyestvovanie) dalam kaitannya dengan NATO. kebijakan
ini memungkinkan perbaikan hubungan dengan negara-negara Eropa Barat. Namun hal
itu tidak berlangsung lama, beberapa konflik tak langsung yang melibatkan Uni
Soviet dan negara-negara NATO terjadi di berbagai belahan dunia.
Dalam Krisis Suez (1956), dukungan
Soviet terhadap Mesir yang berupaya menasionalisasi Terusan Suez, menyebabkan
agresi kemarahan Inggris dan Prancis.
Penempatan rudal-rudal dan peralatan
militer buatan Soviet di Kuba untuk mengantisipasi kemungkinan agresi Amerika Serikat
ke negara sosialis itu, menyebabkan Krisis Karibia (1962) dimana Amerika
Serikat mengumumkan blokade militernya. Aksi militer di Kuba ini sebenarnya
dipicu oleh agresivitas Amerika Serikat dengan penempatan roket-roket tektisnya
di teritori Turki.
Penguatan tekanan terhadap
negara-negara yang tergabung dalam payung sosialisme terlihat pada era
Brezhnev. Kekuatan gabungan Uni Soviet, Polandia, Bulgaria, Rumania dan Jerman
Timur menghancurkan gerakan rakyat Cekoslovakia, pasalnya gerakan di bawah
Alexander Dubchek itu dianggap membahayakan payung sosialisme di negara
tersebut. Hal serupa juga dialami Lech Walensa (1980) di Polandia.
Beberapa perang saudara seperti :
Perang Korea, Perang Vietnam dan Perang Afghanistan terjadi dan melibatkan
kekuatan kedua kubu yang berseteru dalam Perang Dingin.
Selama Perang Dingin setidaknya 19
kali Uni Soviet mengirim bantuan militer ke negara-negara yang dilanda konflik
seperti : Korea Utara, Hungaria, Aljazair, Kuba, Mesir, Vietnam, Ethiopia,
Afghanistan dan sebagainya. Selama periode itu sedikitnya 16 ribu tentara
Soviet tidak kembali (hilang, gugur) dalam tugas di luar teritori Rusia.[1]
Perang dingin ini antara lain : Rusia
menutup jalan masuk Berlin Barat yang melalui Berlin Timur. Maka untuk membantu
kehidupan ekonomi Berlin Barat Amerika-Inggris-Prancis terpaksa mengadakan
pengangkutan udara Berlin tahun 1948-1949. Peristiwa ini hampir saja
mengobarkan perang terbuka kembali, tetapi Uni Soviet mundur selangkah membuka
kembali jalan masuk Berlin Barat melalui Jerman Timur.
Konflik-konflik
lainnya dalam Perang Dingin dapat disebutkan seperti misalnya :
v
Penyerbuan
Uni Soviet ke Hongaria tahun 1956, di mana kemudian di bawah dukungan Uni
Soviet, pemerintahan Yanos Kadar segera melakukan pembersihan di Hongaria
terhadap unsur-unsur anti Komunis.
v
Dalam
tahun 1957 sebagai persaingan persenjata, Uni Soviet di bawah pemerintah
Kruschev mampu membuat Bom Hidrogen.
v
Uni
Soviet membentuk aliansi dengan Kuba, yang membawa sukses Fidel Castro dalam
revolusi tahun 1959. Pada tahun 1962 aliansi Uni Soviet – Kuba membawa konflik dengan Amerika
Serikat, karena Kuba meminta bantuan agar Uni Soviet menempatkan sejumlah
peluru kendali di negerinya. Namun berkat protes karena Amerika Serikat (JF
kenedy), penempatan peluru-peluru tersebut dibatalkan.
v
Tahun
1955 sebagai saingan NATO, dan sebagai stabilisasi di Eropa, Uni Soviet
membentuk Pakta Warsawa dan tahun 1961 membangun tembok Berlin untuk membendung
pengaruh barat di Jerman Timur.
v
Konflik-konflik
lain dalam era Perang Dingin, terjadi di Angola, Chili, Timur Tengah, Korea,
Vietnam, Cekoslovakia, Nikaragua. Dan pada masa Breznev (1979), Uni Soviet
menginvasi ke Afganistan.[2]
Akhir
Masa Pasca Perang
“Masa
pasca perang runtuh di tahun 1989,” demikian menurut Jeane J. Kirpatrick,
mantan Duta besar Amerika Serikat di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama
Pemerintahan Reagan. “Perang dingin sudah usai, hampir,” katanya. “masa pasca
perang sudah selesai, itu pasti.” Empat dasawarsa perdamaian di Eropa yang
tidak tenang telah berakhir dengan runtuhnya kerajaan Uni Soviet, munculnya
Jerman yang bersatu, pemulihan yang berbahaya dari negara-negara meeka di Eropa
Timur.
Dengan
demikian berakhirlah masa dalam sejarah yang dikuasai oleh tokoh lama yang
menjadi pikiran, yakni Josef Stalin yang hidup atau mati, meninggalkan bayangan
besar di atas segenap umat manusia. Kalau ada satu saja alasan yang dapat
dipilih untuk Perang Dingin, itu merupakan kenyataan bahwa orang fanatik ini
yang mengancam, yang sulit dimengerti, yang mempunyai tekad dan para
penggantinya telah mengemudikan Uni Soviet menempuh seperempat abad yang
menyaksikan bangkitnya ke status negara adikuasa.
Pertikaian
yang menyita umat manusia dalam “masa pasca perang” tersebut merupakan bencana
besar yang tidak sehebat dua perang dunia sebelumnya, akan tetapi menuntut biaya yang luar biasa dari para peserta
maupun penonton, dan semua gembira untuk melihat akhir masalah itu. Siapa
pemenang dan siapa yang kalah dalam perjuangan yang menakutkan ini antara
negara-negara adikuasa itu ? pemenang yang paling jelas ialah dua negara yang
dikalahkan dalam Perang Dunia II, Jepang dan Jerman, maupun bangsa-bangsa di
Eropa Tengah yang memperoleh kemerdekaan mereka. Siapa yang kalah ? yang paling
pasti ialah Uni Soviet, akan tetapi juga korban manusia dari konflik negara
adikuasa: korban perang di Korea, Indocina, Afghanistan dan Nikaragua – maupun
mereka yang gagal dalam perjuangan mereka untuk kemerdekaan di kedua sisi Tirai
Besi. Para sejarawan akan lama berdebat tentang apa yang mendasari sebab-sebab,
biaya, dan keuntungan Perang Dingin, akan tetapi satu kesimpulan tampaknya
tidak dapat dibantah: selama hampir setengah abad dunia terhindar dari akibat
bencana nuklir, dan Benua Eropa relatif tentram sesudah berabad-abad perang
yang tiada henti-hentinya. Dalam apa yang disebutnya “pandangan ke belakang
yang tenang dan berhati-hati kepada apa yang menyebabkan perdamaian Eropa
bertahan begitu lama,” John Lewis Gaddis memuji “penentuan lingkungan pengaruh
Soviet dan Amerika sesudah Perang Dunia II. Persaingan ideologis dan militer di
seluruh dunia, selama empat setengah dasawarsa sesudah tahun 1945, mempunyai
pengaruh ditekannya persaingan regional yang mendorong Eropa ke dalam dua
perang dunia dalam tiga dasawarsa sebelum tahun 1945.”
Barangkali
tidak seorang pun bahkan Stalin pun tidak akan menginginkan Perang Dingin.
Demobilisasi adalah universal sesudah Jepang menyerah. Garis perbatasan yang
dibuat di Yalta dipahami oleh Churchill, Roosvelt, dan Stalin mempunyai sifat
sementara sampai perjanjian perdamaian dapat dirundingkan. Tidak ada pemikiran
tentang pembentukan pasukan pendudukan yang tetap, apakah itu di Eropa atau di
Asia. Akan tetapi, kecurigaan timbal-balik, berdasarkan pengalaman yang berat
dan perbedaan ideologis yang mendasar, menyebabkan kedua pihak perlahan-lahan
memperkokoh kedudukan mereka, sampai menjelang tahun 1950 garis-garis batas
ditetapkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Ledakan
kemerdekaan yang terjadi di tahun 1989 di seluruh kerajaan Soviet itu
menyebabkan tidak banyak lagi sisa sebagai pembela eksperimen komunis. Hanya
waktulah yang akan mengungkapkan pemenang terakhir dalam perjuangan yang
bersejarah ini antara negara adi kuasa tersebut, akan tetapi mungkin pada
tempatnyalah beberapa pemikiran tentang bagaimana terjadinya Perang Dingin itu.[3]
Dampak
Perang Dingin terhadap Asia
Sementara
Perang Dingin membawa empat puluh tahun perdamaian yang tidak tenang untuk
Eropa, Perang Dingin mengancam mengubah keadaan revolusi dan perang saudara di
Asia menjadi tembakan pembukaan serentak untuk menuju Perang Dunia III.
Paul
kennedy menulis, bahwa “Sistem
Internasional, apakah dikuasai Oleh enam Negara Besar atau oleh dua saja, tetap
secara anarki yakni, tidak ada wewenang yang lebih besar dari pada negara bangsa
berdaulat, yang mementingkan diri sendiri.”
Apabila kennedy benar, seperti saya kira memang begitu, uraiannya
berlaku untuk Asia selama tiga dawarsa pertama dari perang dingin. Jumlah
negara yang bersaing sudah berkurang dari lima (Jepang, Inggris, Prancis,
Rusia, dan Amerika Serikat) menjadi dua. Sudah tentu, menjelang tahun 1980-an, Jepang
memperoleh kembali perannya sebagai negara besar.
Sebagai
negara yang dominan di Asia, Amerika Serikat tidak mempunyai pilihan kecual
mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh runtuhnya jepang. Bahkan sebelum
perang berakhir, persaingan dengan Uni Soviet tidak dapat dielakkan. Akan
tetapi, Amerika serikat belum cukup siap untuk peran seperti itu di Asia.
Kecuali jumlah pejabat departemen luar negeri dan misionaris yang relatif kecil,
Amerika Serikat tidak banyak berkepentingan atau mempunyai pengetahuan tentang
negara-negara, selain Jepang dan Cina. Lagi pula, ada prasangka yang dalam
sekali terhadap orang-orang Asia di Amerika Serikat.
Karena
terpaksa, pertimbangan yang penting di berikan kepada masalah startegis. Akan
tetapi, disamping mendasarkan politiknya atas penilaian militer-politik yang
keras kepala, proses pengambilan keputusan di Amerika dipengaruhi oleh dua
faktor lain yang keabsahannya diragukan : mitos tentang Cina dan Hipotesis
tentang perubahan revolusioner di Asia.
Mitos
itu ialah “Pintu terbuka di Cina,” yang berasal dari zaman kapal-kapal Clipper
lebih dari seabad yang lalu. Mitos ini melambangkan Cina sebagai pasar
kapitalis yang paling besar yang belum disadap, terdiri dari beratus juta
konsumen, yang harus terbuka untuk perdagangan Amerika atas syarat yang sama
dengan saingan asing serta domestik. Di samping itu, Cina di gambarkan sebagai
ladang yang kaya untuk misionaris protestan yang alturistik (mengutamakan
kepentingan orang lain), dan nenek moyang mereka ialah diantara perintis
pertama dalam invasi tanpa kekerasan Amerika dan Asia. Menurut mitos ini,
Amerika Serikat tidak mempunyai ambisi imperial, akan tetapi hanya menuntut
“Pintu Terbuka” untuk kegiatan perdagangan msionaris. Kedua negara tersebut
akan sama-sama berbagai keuntungan :
barang Cina akan mengalir ke Amerika; dari Amerika ke Cina, barang hasil
pabrik, teknologi, demokrasi, dan agama kristen.
Hipotesis
tentang perubahan revolusioner di Asia pasca perang ialah, bahwa Komunisme
dunia merupakan kesatuan yang terpadu, bahwa revolusi di Cina atau di tempat
lain diorganisasi dan dikendalikan oleh Uni Soviet, dan bahwa pemerintahan
marxis bekerja dengan serempak. Bahkan sosialis yang non-komunis pun dianggap
sebagai alat yang tidak disadari bekerja untuk Rusia. Hipotesis ini mengabaikan
kemungkinan bahwa, meskipun tuntutan mereka, kaum revolusioner Asia adalah
nasionalistik-patriotik dan bukan alat persekongkolan.
Harus
diakui bahwa pandangan ini dipupuk oleh Lenin dan Stalin, yang bermimpi tentang
kemenangan Revolusi Dunia Marxis yang tidak dapat dihindarkan dan berusaha
mengumumkannya di seluruh Asia. Hipotesis Amerika tersebut sesuai dengan impian
Soviet. Dengan demikian, baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet menganggap
negara-negara Asia yang merdeka sebagai alat politik mereka sendiri dan gagal
memahami dengan sungguh-sungguh cita-cita nasional bangsa-bangsa di Asia.
Hipotesis
bahwa Moskow memimpin pemberontakan di Indochina, Malay dan Hindia-Belanda sesudah
Jepang menyerah, menyebabkan Amerika mendukung pemerintah kolonial Prancis,
Inggris dan Belanda. Amerika memberikan alasan tentang peningkatan dengan
perlahan-lahan kegiatannya di Vietnam Selatan dan akhirnya perang itu menjadi
perang Amerika, untuk menang atau kalah. Hipotesis itu menyebabkan
dipersenjatainya secara rahasia kaum Montagnard di Laos untuk melawan Viet
Minh. Juga menyebabkan CIA membantu secara gelap pemberontakkan melawan
pemerintahan Soekarno, yang berakibat ditembak jatuhnya Allen Pope di Celebes
(Sulawesi). Juga memungkinkan pejabat yang diktatorial dan kadang-kadang korup
untuk memerintah negara mereka di bawah payung Amerika atas nama
anti-komunisme.
Mitos
tentang Cina mempunyai dua pahlawan dari dongeng anak-anak : Jiang Jeishi
(Chiang Kai-Shek) dan istrinya yang mendapat pendidikan di Amerika. Tiga miliar
dolar dalam bantuan militer gagal untuk menyelamatkan pemerintahan Chiang yang
korup, dan demikianlah semua dianggap hilang, ketika Mao menang di tahun 1942.
Pintu yang terbuka tersebut lalu ditutup, perdagangan diputuskan antara Cina
dan Amerika, dan misionaris, sesudah masa hukuman penjara, diusir dari Cina. Akan tetapi, mitos itu hidup
kembali, sesudah kunjungan Nixon ke Peking (Beijing) di tahun 1972 – hanya untuk
tinggal sebagai mitos.
Dengan
demikian kita melihat dalam garis besar, bagaimana Perang Dingin berperan di
Asia: dalam Perang Korea yang berakhir dengan jalan buntu (stalemate); Perang
Vietnam yang berakhir dengan kekalahan Amerika Serikat dan meningkatnya
ketegangan antara Cina dan Uni Soviet dan di Kamboja, pusat dari medan
pembunuhan.
Perang
Dingin memperkuat elite bisnis-militer di Korea Selatan , Filipina, Muangthai
dan Indonesia. Tanpa Perang Dingin, bentuk pemerintahan yang kurang otoriter
mungkin mempunyai kesempatan untuk tumbuh di banyak negara Asia Tenggara dan
mungkin tidak.
Akan
tetapi, tanpa pemasukan bantuan militer dan bantuan teknis yang dirangsang oleh
Perang Dingin, prasarana di Korea Selatan dan Muangthai khususnya, mungkin
memerlukan beberapa dasawarsa lebih lama lagi untuk berkembang. Jalan raya yang
dibangun untuk pengangkutan militer menjadi jalan pembantu untuk perkembangan
di bidang pertanian dan industri.
Bagaimanapun
juga, penderitaan yang hebat disebabkan oleh tumpahan Perang Dingin terasa ke
Asia: di Korea, Vietnam, dan Kamboja khususnya; akan tetapi, juga di Amerika,
yang terkena luka goresan dengan parut yang permanen akibat pengalamannya dalam
Perang Vietnam.
Soviet
juga tidak luput dari akibat keterlibatannya dalam Perang Dingin, khususnya di
Afghanistan: perang yang tidak dapat mereka lupakan.[4]
Ambruknya
ideologi Komunis baik di Eropa Timur maupun bubarnya negara Uni Soviet,
runtuhnya tembok Berlin, penarikan pasukan Uni Soviet dari Afganistan (1989),
bubarnya Pakta Warsawa, maka dianggap Perang Dingin yang berlangsung selama
kurang lebih 45 tahun telah berakhir.
Walaupun
demikian, dengan berakhirnya Perang Dingin, peredaan ketegangan di dunia belum
berakhir. Malah timbul pergolakan-pergolakan baru seperti yang terjadi di Timur
Tengah (perang teluk), Perang Saudara di Yugoslavia, timbulnya kekuatan baru di
Asia Pasifik (Cina dan Jepang), tanda-tanda damai di dunia belum lagi nampak.[5]
[1] A.
Fahrurodji. 2005. Rusia Baru Menuju Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hal.163-168.
[2] Rasyid
Hamidi dan Sugeng Riadi. 1992. Sejarah Eropa Terbaru. IKIP Muhammadiyah
Jakarta. Hal. 100.
[3] William L. Bradley dan Mochtar
Lubis. 1991. dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika
Serikat dan Asia. Yayasan obor Indonesia, Jakarta. Hal. 94-96
[4] William L. Bradley dan Mochtar
Lubis. 1991. dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika
Serikat dan Asia. Yayasan obor Indonesia, Jakarta. Hal. 103-106
[5] Rasyid
Hamidi dan Sugeng Riadi. 1992. Sejarah Eropa Terbaru. IKIP Muhammadiyah
Jakarta. Hal. 101.