Selasa, 21 Mei 2013

AKHIR PERANG DINGIN



Perang Dingin (Cold War) adalah suatu istilah yang diberikan untuk persaingan dan konflik antara negara-negara Barat yang dipimpin Amerika Serikat di satu pihak dengan blok Komunis pimpinan Uni Soviet dilain pihak. Perang Dingin terjadi setelah Perang Dunia II.
Hakikat perang dingin itu adalah pertentangan antara dunia bebas dengan Uni Soviet dalam lapangan politik, ekonomi, militer dan propaganda.
Dalam lapangan militer kedua pihak membangun persekutuan yang kuat, Amerika membentuk Nato dan Uni Soviet membangun Pakta Warsawa. Sementara itu terjadi perlombaan persenjataan nuklir dalam berbagai bentuk.
Selain dalam militer, dalam politik terdapat persekutuan dan negara satelit. Rusia menguasai Eropa Timur, terbaginya Jerman menjadi Jerman Timur dan Jerman Barat serta Berlin Barat dan Berlin Timur.
Yugoslavia dan Jepang mengikuti politik negara Barat. Cina Komunis dekat dengan Moskow. Iran ingin dikuasai oleh Rusia, tetapi mendapat teguran hebat dari PBB.
Mengingat kegiatan politik di atas maka Truman mengeluarkan doktrin (Truman Doctrin) bahwa Amerika akan membantu negara Eropa dalam bidang ekonomi, militer. Adanya rencana Marshall (Marshall Plan) yang menetapkan kerja sama USA dengan negara Eropa dalam bidang pembangunan, membantu Eropa untuk membangun ekonominya kembali.


I.      Akhir Perang Dingin
Setelah Perang Dunia II usai, Uni Soviet mengalami penguatan otoritas yang cukup berarti, dengan terbentuknya hubungan kerjasama diplomatik dengan 52 negara. Soviet ikut serta dalam konferensi paris tahun 1946, membahas nasib bangsa-bangsa bekas sekutu jerman seperti: Italia, Bulgaria, Hungaria, Rumania dan Finlandia.
Peranan penting Uni Soviet pasca PD II adalah keikutsertaannya memperkrasai berdirinya PBB pada tahun 1945 bersama dengan kekuatan anti-fasis lainnya. Namun kemesraan hubungan negara-negara yang tergabung dalam koalisi anti-fasisme itu tidak bertahan lama. Pada tahun 1946 Stalin menuduh Inggris dan Amerika Serikat melancarkan kebijakan-kebijakan internasional yang agresif. Ini dijawab oleh PM Inggris Winston Churchill dengan menentang kekuatan apa yang disebutnya “Komunis Timur”, yang pada gilirannya membelah sistem perpolitikan internasional dalam dua blok besar yakni Blok Barat yang dikomandoi Amerika Serikat dan Inggris dan Blok Timur oleh Uni Soviet. Amerika Serikat (AS) lalu memperbanyak basis-basis militernya dan mengurangi volume perdagangan dengan Uni Soviet dan negara-negara sosialis, sementara Uni Soviet menyelenggarakan kebijakan “Tirai Besi” (mengisolasi diri).
Konfrontasi dua sistem kekutan ini dikenal dengan istilah Perang Dingin (1946 sampai akhir 1980-an) yang ditandai dengan perlombaan senjata, perimbangan kekuatan dan ancaman perang nuklir.
Pada tahun 1949 Jerman, sebagai negara yang kalah perang dipecah menjadi 3 bagian yang meliputi: Jerman Barat, Jerman Timur dan Berlin Barat. Pada tahun tersebut Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Barat membentuk aliansi yang disebut NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara), sedangkan Uni Soviet membentuk SEV atau Dewan Kerjasama Ekonomi Negara-Negara Sosialis.
Menyadari meningkatkannya suhu politik internasional dan menguatnya ancaman terhadap negara, maka pemimpin Uni Soviet  menekankan peningkatan teknologi persenjataan nuklir yang mendorong perimbangan kekuatan senjata terhadap Barat.
Pada tahun 1955 untuk mengimbangi kekuatan NATO, Soviet membentuk Organisasi Perjanjian Warshawa (OWD) atau yang lebih dikenal dengan Pakta Warsawa. Dan pada tahun 1957 di Eropa dibentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Pemerintah Kruschev mencanangkan koeksistensi damai (mirnoe sosushyestvovanie) dalam kaitannya dengan NATO. kebijakan ini memungkinkan perbaikan hubungan dengan negara-negara Eropa Barat. Namun hal itu tidak berlangsung lama, beberapa konflik tak langsung yang melibatkan Uni Soviet dan negara-negara NATO terjadi di berbagai belahan dunia.
Dalam Krisis Suez (1956), dukungan Soviet terhadap Mesir yang berupaya menasionalisasi Terusan Suez, menyebabkan agresi kemarahan Inggris dan Prancis.
Penempatan rudal-rudal dan peralatan militer buatan Soviet di Kuba untuk mengantisipasi kemungkinan agresi Amerika Serikat ke negara sosialis itu, menyebabkan Krisis Karibia (1962) dimana Amerika Serikat mengumumkan blokade militernya. Aksi militer di Kuba ini sebenarnya dipicu oleh agresivitas Amerika Serikat dengan penempatan roket-roket tektisnya di teritori Turki.
Penguatan tekanan terhadap negara-negara yang tergabung dalam payung sosialisme terlihat pada era Brezhnev. Kekuatan gabungan Uni Soviet, Polandia, Bulgaria, Rumania dan Jerman Timur menghancurkan gerakan rakyat Cekoslovakia, pasalnya gerakan di bawah Alexander Dubchek itu dianggap membahayakan payung sosialisme di negara tersebut. Hal serupa juga dialami Lech Walensa (1980) di Polandia.
Beberapa perang saudara seperti : Perang Korea, Perang Vietnam dan Perang Afghanistan terjadi dan melibatkan kekuatan kedua kubu yang berseteru dalam Perang Dingin.
Selama Perang Dingin setidaknya 19 kali Uni Soviet mengirim bantuan militer ke negara-negara yang dilanda konflik seperti : Korea Utara, Hungaria, Aljazair, Kuba, Mesir, Vietnam, Ethiopia, Afghanistan dan sebagainya. Selama periode itu sedikitnya 16 ribu tentara Soviet tidak kembali (hilang, gugur) dalam tugas di luar teritori Rusia.[1]
Perang dingin ini antara lain : Rusia menutup jalan masuk Berlin Barat yang melalui Berlin Timur. Maka untuk membantu kehidupan ekonomi Berlin Barat Amerika-Inggris-Prancis terpaksa mengadakan pengangkutan udara Berlin tahun 1948-1949. Peristiwa ini hampir saja mengobarkan perang terbuka kembali, tetapi Uni Soviet mundur selangkah membuka kembali jalan masuk Berlin Barat melalui Jerman Timur.
Konflik-konflik lainnya dalam Perang Dingin dapat disebutkan seperti misalnya :
v  Penyerbuan Uni Soviet ke Hongaria tahun 1956, di mana kemudian di bawah dukungan Uni Soviet, pemerintahan Yanos Kadar segera melakukan pembersihan di Hongaria terhadap unsur-unsur anti Komunis.
v  Dalam tahun 1957 sebagai persaingan persenjata, Uni Soviet di bawah pemerintah Kruschev mampu membuat Bom Hidrogen.
v  Uni Soviet membentuk aliansi dengan Kuba, yang membawa sukses Fidel Castro dalam revolusi tahun 1959. Pada tahun 1962 aliansi Uni Soviet  – Kuba membawa konflik dengan Amerika Serikat, karena Kuba meminta bantuan agar Uni Soviet menempatkan sejumlah peluru kendali di negerinya. Namun berkat protes karena Amerika Serikat (JF kenedy), penempatan peluru-peluru tersebut dibatalkan.
v  Tahun 1955 sebagai saingan NATO, dan sebagai stabilisasi di Eropa, Uni Soviet membentuk Pakta Warsawa dan tahun 1961 membangun tembok Berlin untuk membendung pengaruh barat di Jerman Timur.
v  Konflik-konflik lain dalam era Perang Dingin, terjadi di Angola, Chili, Timur Tengah, Korea, Vietnam, Cekoslovakia, Nikaragua. Dan pada masa Breznev (1979), Uni Soviet menginvasi ke Afganistan.[2]
Akhir Masa Pasca Perang
“Masa pasca perang runtuh di tahun 1989,” demikian menurut Jeane J. Kirpatrick, mantan Duta besar Amerika Serikat di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama Pemerintahan Reagan. “Perang dingin sudah usai, hampir,” katanya. “masa pasca perang sudah selesai, itu pasti.” Empat dasawarsa perdamaian di Eropa yang tidak tenang telah berakhir dengan runtuhnya kerajaan Uni Soviet, munculnya Jerman yang bersatu, pemulihan yang berbahaya dari negara-negara meeka di Eropa Timur.
Dengan demikian berakhirlah masa dalam sejarah yang dikuasai oleh tokoh lama yang menjadi pikiran, yakni Josef Stalin yang hidup atau mati, meninggalkan bayangan besar di atas segenap umat manusia. Kalau ada satu saja alasan yang dapat dipilih untuk Perang Dingin, itu merupakan kenyataan bahwa orang fanatik ini yang mengancam, yang sulit dimengerti, yang mempunyai tekad dan para penggantinya telah mengemudikan Uni Soviet menempuh seperempat abad yang menyaksikan bangkitnya ke status negara adikuasa.
Pertikaian yang menyita umat manusia dalam “masa pasca perang” tersebut merupakan bencana besar yang tidak sehebat dua perang dunia sebelumnya, akan tetapi menuntut  biaya yang luar biasa dari para peserta maupun penonton, dan semua gembira untuk melihat akhir masalah itu. Siapa pemenang dan siapa yang kalah dalam perjuangan yang menakutkan ini antara negara-negara adikuasa itu ? pemenang yang paling jelas ialah dua negara yang dikalahkan dalam Perang Dunia II, Jepang dan Jerman, maupun bangsa-bangsa di Eropa Tengah yang memperoleh kemerdekaan mereka. Siapa yang kalah ? yang paling pasti ialah Uni Soviet, akan tetapi juga korban manusia dari konflik negara adikuasa: korban perang di Korea, Indocina, Afghanistan dan Nikaragua – maupun mereka yang gagal dalam perjuangan mereka untuk kemerdekaan di kedua sisi Tirai Besi. Para sejarawan akan lama berdebat tentang apa yang mendasari sebab-sebab, biaya, dan keuntungan Perang Dingin, akan tetapi satu kesimpulan tampaknya tidak dapat dibantah: selama hampir setengah abad dunia terhindar dari akibat bencana nuklir, dan Benua Eropa relatif tentram sesudah berabad-abad perang yang tiada henti-hentinya. Dalam apa yang disebutnya “pandangan ke belakang yang tenang dan berhati-hati kepada apa yang menyebabkan perdamaian Eropa bertahan begitu lama,” John Lewis Gaddis memuji “penentuan lingkungan pengaruh Soviet dan Amerika sesudah Perang Dunia II. Persaingan ideologis dan militer di seluruh dunia, selama empat setengah dasawarsa sesudah tahun 1945, mempunyai pengaruh ditekannya persaingan regional yang mendorong Eropa ke dalam dua perang dunia dalam tiga dasawarsa sebelum tahun 1945.”
Barangkali tidak seorang pun bahkan Stalin pun tidak akan menginginkan Perang Dingin. Demobilisasi adalah universal sesudah Jepang menyerah. Garis perbatasan yang dibuat di Yalta dipahami oleh Churchill, Roosvelt, dan Stalin mempunyai sifat sementara sampai perjanjian perdamaian dapat dirundingkan. Tidak ada pemikiran tentang pembentukan pasukan pendudukan yang tetap, apakah itu di Eropa atau di Asia. Akan tetapi, kecurigaan timbal-balik, berdasarkan pengalaman yang berat dan perbedaan ideologis yang mendasar, menyebabkan kedua pihak perlahan-lahan memperkokoh kedudukan mereka, sampai menjelang tahun 1950 garis-garis batas ditetapkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Ledakan kemerdekaan yang terjadi di tahun 1989 di seluruh kerajaan Soviet itu menyebabkan tidak banyak lagi sisa sebagai pembela eksperimen komunis. Hanya waktulah yang akan mengungkapkan pemenang terakhir dalam perjuangan yang bersejarah ini antara negara adi kuasa tersebut, akan tetapi mungkin pada tempatnyalah beberapa pemikiran tentang bagaimana terjadinya Perang Dingin itu.[3]

Dampak Perang Dingin terhadap Asia
Sementara Perang Dingin membawa empat puluh tahun perdamaian yang tidak tenang untuk Eropa, Perang Dingin mengancam mengubah keadaan revolusi dan perang saudara di Asia menjadi tembakan pembukaan serentak untuk menuju Perang Dunia III.
Paul kennedy menulis,  bahwa “Sistem Internasional, apakah dikuasai Oleh enam Negara Besar atau oleh dua saja, tetap secara anarki yakni, tidak ada wewenang yang lebih besar dari pada negara bangsa berdaulat, yang mementingkan diri sendiri.”  Apabila kennedy benar, seperti saya kira memang begitu, uraiannya berlaku untuk Asia selama tiga dawarsa pertama dari perang dingin. Jumlah negara yang bersaing sudah berkurang dari lima (Jepang, Inggris, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat) menjadi dua. Sudah tentu, menjelang tahun 1980-an, Jepang memperoleh kembali perannya sebagai negara besar.
Sebagai negara yang dominan di Asia, Amerika Serikat tidak mempunyai pilihan kecual mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh runtuhnya jepang. Bahkan sebelum perang berakhir, persaingan dengan Uni Soviet tidak dapat dielakkan. Akan tetapi, Amerika serikat belum cukup siap untuk peran seperti itu di Asia. Kecuali jumlah pejabat departemen luar negeri dan misionaris yang relatif kecil, Amerika Serikat tidak banyak berkepentingan atau mempunyai pengetahuan tentang negara-negara, selain Jepang dan Cina. Lagi pula, ada prasangka yang dalam sekali terhadap orang-orang Asia di Amerika Serikat.
Karena terpaksa, pertimbangan yang penting di berikan kepada masalah startegis. Akan tetapi, disamping mendasarkan politiknya atas penilaian militer-politik yang keras kepala, proses pengambilan keputusan di Amerika dipengaruhi oleh dua faktor lain yang keabsahannya diragukan : mitos tentang Cina dan Hipotesis tentang perubahan revolusioner di Asia.
Mitos itu ialah “Pintu terbuka di Cina,” yang berasal dari zaman kapal-kapal Clipper lebih dari seabad yang lalu. Mitos ini melambangkan Cina sebagai pasar kapitalis yang paling besar yang belum disadap, terdiri dari beratus juta konsumen, yang harus terbuka untuk perdagangan Amerika atas syarat yang sama dengan saingan asing serta domestik. Di samping itu, Cina di gambarkan sebagai ladang yang kaya untuk misionaris protestan yang alturistik (mengutamakan kepentingan orang lain), dan nenek moyang mereka ialah diantara perintis pertama dalam invasi tanpa kekerasan Amerika dan Asia. Menurut mitos ini, Amerika Serikat tidak mempunyai ambisi imperial, akan tetapi hanya menuntut “Pintu Terbuka” untuk kegiatan perdagangan msionaris. Kedua negara tersebut akan sama-sama berbagai keuntungan :  barang Cina akan mengalir ke Amerika; dari Amerika ke Cina, barang hasil pabrik, teknologi, demokrasi, dan agama kristen.
Hipotesis tentang perubahan revolusioner di Asia pasca perang ialah, bahwa Komunisme dunia merupakan kesatuan yang terpadu, bahwa revolusi di Cina atau di tempat lain diorganisasi dan dikendalikan oleh Uni Soviet, dan bahwa pemerintahan marxis bekerja dengan serempak. Bahkan sosialis yang non-komunis pun dianggap sebagai alat yang tidak disadari bekerja untuk Rusia. Hipotesis ini mengabaikan kemungkinan bahwa, meskipun tuntutan mereka, kaum revolusioner Asia adalah nasionalistik-patriotik dan bukan alat persekongkolan.
Harus diakui bahwa pandangan ini dipupuk oleh Lenin dan Stalin, yang bermimpi tentang kemenangan Revolusi Dunia Marxis yang tidak dapat dihindarkan dan berusaha mengumumkannya di seluruh Asia. Hipotesis Amerika tersebut sesuai dengan impian Soviet. Dengan demikian, baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet menganggap negara-negara Asia yang merdeka sebagai alat politik mereka sendiri dan gagal memahami dengan sungguh-sungguh cita-cita nasional bangsa-bangsa di Asia.
Hipotesis bahwa Moskow memimpin pemberontakan di Indochina, Malay dan Hindia-Belanda sesudah Jepang menyerah, menyebabkan Amerika mendukung pemerintah kolonial Prancis, Inggris dan Belanda. Amerika memberikan alasan tentang peningkatan dengan perlahan-lahan kegiatannya di Vietnam Selatan dan akhirnya perang itu menjadi perang Amerika, untuk menang atau kalah. Hipotesis itu menyebabkan dipersenjatainya secara rahasia kaum Montagnard di Laos untuk melawan Viet Minh. Juga menyebabkan CIA membantu secara gelap pemberontakkan melawan pemerintahan Soekarno, yang berakibat ditembak jatuhnya Allen Pope di Celebes (Sulawesi). Juga memungkinkan pejabat yang diktatorial dan kadang-kadang korup untuk memerintah negara mereka di bawah payung Amerika atas nama anti-komunisme.
Mitos tentang Cina mempunyai dua pahlawan dari dongeng anak-anak : Jiang Jeishi (Chiang Kai-Shek) dan istrinya yang mendapat pendidikan di Amerika. Tiga miliar dolar dalam bantuan militer gagal untuk menyelamatkan pemerintahan Chiang yang korup, dan demikianlah semua dianggap hilang, ketika Mao menang di tahun 1942. Pintu yang terbuka tersebut lalu ditutup, perdagangan diputuskan antara Cina dan Amerika, dan misionaris, sesudah masa hukuman penjara, diusir  dari Cina. Akan tetapi, mitos itu hidup kembali, sesudah kunjungan Nixon ke Peking (Beijing) di tahun 1972 – hanya untuk tinggal sebagai mitos.
Dengan demikian kita melihat dalam garis besar, bagaimana Perang Dingin berperan di Asia: dalam Perang Korea yang berakhir dengan jalan buntu (stalemate); Perang Vietnam yang berakhir dengan kekalahan Amerika Serikat dan meningkatnya ketegangan antara Cina dan Uni Soviet dan di Kamboja, pusat dari medan pembunuhan.
Perang Dingin memperkuat elite bisnis-militer di Korea Selatan , Filipina, Muangthai dan Indonesia. Tanpa Perang Dingin, bentuk pemerintahan yang kurang otoriter mungkin mempunyai kesempatan untuk tumbuh di banyak negara Asia Tenggara dan mungkin tidak.
Akan tetapi, tanpa pemasukan bantuan militer dan bantuan teknis yang dirangsang oleh Perang Dingin, prasarana di Korea Selatan dan Muangthai khususnya, mungkin memerlukan beberapa dasawarsa lebih lama lagi untuk berkembang. Jalan raya yang dibangun untuk pengangkutan militer menjadi jalan pembantu untuk perkembangan di bidang pertanian dan industri.
Bagaimanapun juga, penderitaan yang hebat disebabkan oleh tumpahan Perang Dingin terasa ke Asia: di Korea, Vietnam, dan Kamboja khususnya; akan tetapi, juga di Amerika, yang terkena luka goresan dengan parut yang permanen akibat pengalamannya dalam Perang Vietnam.
Soviet juga tidak luput dari akibat keterlibatannya dalam Perang Dingin, khususnya di Afghanistan: perang yang tidak dapat mereka lupakan.[4]
Ambruknya ideologi Komunis baik di Eropa Timur maupun bubarnya negara Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin, penarikan pasukan Uni Soviet dari Afganistan (1989), bubarnya Pakta Warsawa, maka dianggap Perang Dingin yang berlangsung selama kurang lebih 45 tahun telah berakhir.
Walaupun demikian, dengan berakhirnya Perang Dingin, peredaan ketegangan di dunia belum berakhir. Malah timbul pergolakan-pergolakan baru seperti yang terjadi di Timur Tengah (perang teluk), Perang Saudara di Yugoslavia, timbulnya kekuatan baru di Asia Pasifik (Cina dan Jepang), tanda-tanda damai di dunia belum lagi nampak.[5]


[1] A. Fahrurodji. 2005. Rusia Baru Menuju Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal.163-168.
[2] Rasyid Hamidi dan Sugeng Riadi. 1992. Sejarah Eropa Terbaru. IKIP Muhammadiyah Jakarta. Hal. 100.
[3] William L. Bradley dan Mochtar Lubis. 1991. dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika Serikat dan Asia. Yayasan obor Indonesia, Jakarta. Hal. 94-96
[4] William L. Bradley dan Mochtar Lubis. 1991. dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika Serikat dan Asia. Yayasan obor Indonesia, Jakarta. Hal. 103-106
[5] Rasyid Hamidi dan Sugeng Riadi. 1992. Sejarah Eropa Terbaru. IKIP Muhammadiyah Jakarta. Hal. 101.

Imperialis di Afrika dan Krisis Moroko



I.         IMPERIALIS DI AFRIKA
1.         Tunis dan Penetration Pacifique
Dari Aljazair, Prancis ingin memperluas pengaruhnya ke Tunis, sebuah daerah di timur Aljazair, lebih sempit, dengan iklimnya yang sedang. Tunis merupakan negeri “terbelakang” dan penduduknya tidak padat. Pada zaman kuno Tunis merupakan pusat kerajaan besar Imperium Kartagho. Pada suatu masa Kartagho pernah menjadi propinsi Imperium Roma, kemudian beralih tangan, merupakan bagian dari pada Imperium Turki. Sampai pertengahan abad ke-19 bagian kedua, Sultan Turki secara de jure adalah penguasa di Tunis dan seorang Bey merupakan wakilnya.
Tidak hanya Perancis, tetapi juga berbagai negara Imperialis Barat menaruh perhatian terhadap Tunis. Pada sekitar 1860-an banyak spekulan-spekulan, pedagang ataupun peminjaman uang bangsa Barat memasuki Tunis untuk mengadu untung. Persaingan yang hebat terjadi di antara mereka itu.
Pada 1869 Tunis menghadapi suatu kebangkrutan. Pengawasan terhadap keuangan dilakukan oleh Triple control terdiri atas wakil-wakil Inggris, Italia, dan Prancis. Sejak itu persaingan antara tiga penguasa tersebut makin hebat. Masing-masing ingin mempengaruhi Bey untuk dapat menanamkan modalnya dalam perusahaan-perusahaan jalan kereta api, pemasangan telegrap ataupun mendapatkan tanah-tanah konsesi.
Sesudah kongres Berlin (1878), penguasaan Prancis terhadap Tunis hanya tinggal menunggu waktunya saja. Adapun sebabnya karena dalam kongres tersebut Prancis bersikap netral. Untuk menjaga agar Prancis tidak mendekati Rusia, maka naik Bismarck maupun Disraeli berusaha membuat hubungan yang sebaik-baiknya dengan republik itu. Mereka mengingatkan akan adanya kemungkinan bagi Prancis untuk menduduki Tunis sebagai kompensasi terhadap pendudukan Cyprus oleh Inggris.
Dalam tahun 1880 itu juga Perdana Mentri Jules Ferry, tokoh imperialis modern Prancis, berpendapat bahwa kemenangan yang didapat Afrika Utara akan memberi sukses padanya dalam pemilihan yang akan datang. Dialah yang membawa Prancis mengikuti politik ekspansi kolonial yang seluas-luasnya. Tunis akan diserbu. Lebih-lebih ketika ia mendengar bahwa Bey berkomplot dengan konsul Italia untuk menghadapi pengaruh Prnacis di Tunis.
Dengan alasan menindas suku-suku dari Tunis yang mengganggu perbatasan Aljazair, Ferry mengirimkan ekspedisi militer dengan biaya 6 juta franc. Pada 1881 tentara tersebut dikirimkan dan setelah mereka mencapai ibu kota, Bey dipaksa menerima protektorat Prancis atas negerinya. Sebuah perjanjian ditandatangani di Bardo (1881), berisi bahwa sejak itu hubungan pemerintah Tunis dan konsul-konsul asing diawasi oleh residen Prancis. Prancis menjajikan akan melindungi Bey serta wilayahnya terhadap serangan-serangan lawan. Kepada orang-orang Inggris dijanjikan pula, bahwa pelabuhan perang Bizerte tidak akan diperkuat.
Perjanjian Bardo memberi kuasa kepada orang-orang Prancis untuk mengatur keuangannya di Tunis. Tentara Prancis disebar di seluruh negeri dan pada akhir tahun pendudukan telah selesai dikerjakan. Pemerintah Prancis kemudian mengemukakan bahwa “pacification” telah selesai.
Akan tetapi sebenarnya  sesudah diandatangani perjanjian Bardo, terjadilah suatu pemberontakan di sebelah selatan. Tidak sedikit tentara Prancis yang menjadi korban dan 38.000 orang harus ditarik mundur. Di dalam parlemen partai radikal melakukan oposisi keras. Clemenceau menyebut politik Ferry di Tunis itu sebagai “coup de Bourse”, yaitu suatu penyerbuan yang didasari oleh kepentingan ekonomi. Tetapi Berry menjawab bahwa kepentingan ekonomi dan strategilah yang menyebabkan penyerbuan ke Tunis itu.

2.         Afrika Timur Laut
Sejak zaman sebelum berlangsung imperialisme modern, Obock adalah koloni Prancis. Pada 1882 seluruh kota dibeli dari Sultan pemilik daerah dengan harga 30.000 franc. Ketika Inggris menutup bandar Aden bagi kapal-kapal Prancis pada waktu terjadi perang Tonkin, Prancis memutuskan akan mendirikan pangkalan laut di Obock. Tetapi karena letak kota ini sangat tidak tampan, maka pada 1888 Prancis memilih Djibouti sebagai penggantinya, yang kemudian disebut Somali Prancis. Dari tempat ini Prancis merencanakan pemasangan jalan kereta api melalui Ethiopia menuju ke daerah Nil. Bagi Prancis, Sudan sebelah timur dan Ethiopia merupakan kunci untuk menyempurnakan penguasaan koloninya di Afrika sebelah utara.
Selain Prancis, Italia juga ingin menguasai daerah-daerah di Afrika bagian timur-laut, ialah daerah Ethiopia dan daerah pantai disekitarnya. Penguasaan akan dimulai dari pantai yang akan diperluas ke pedalaman. Pada 1870, Robettino, seorang pemlik perusahaan kapal bangsa Italia, membeli kota Assab di pantai Laut Merah dari raja pemiliknya seharga 9000 dollar. Kota tersebut dijadikan pangkalan bagi perusahaannya. Tetapi ketika ia takut akan ancaman penduduk Assab, maka pemerintahannya mengirimkan sebuah kapal perang untuk melindunginya (1880). Pada 1883 pemerintah Italia menganeksasi Teluk Assab dan pada 1885 menduduki Massasua. Daerah-daerah itu kemudian disebut Eritrea. Dari tempat ini Italia akan menyerbu Ethiopia.
Konflik Italia dan Ethiopia dapat diakhiri dengan diadakan perjanjian di Udsyiali (1889). Menurut interpretasi kaum politisi di Italia, perjanjian tersebut menetapkan protektorat Italia terhadap Ethiopia. Interpretasi kaum imperialis Italia tersebut ditolak oleh Negus Menelik dan pada 1893 secara resmi ia membatalkan perjanjian tahun 1889.
Para 1895 pemerintah Italia melakukan kekerasan untuk memaksa Ethiopia mengakui kekuasaannya. Tentara Italia dikirim untuk menggabungkan Tigre yang merupakan sebuah provinsi di Ethiopia, dengan Eritrea. Menelik mengerahkan tenaga sebanyak 90 ribu tentara untuk menolak invasi tersebut. Kebanyakan tentara tersebut telah dilatih oleh perwira-perwira Prancis dan diperlengkapi dengan senjata modern.
Perdana Menteri Francesco Crispi dari Italia mengalami kesulitan dalam operasi perangnya di Ethiopia. Ia mencoba mendapatkan bantuan Inggris dengan melalui sahabatnya, Jerman, tetapi tidak berhasil. Pada 1886 tentara Italia menderita kekalahan besar dalam pertempuran terkenal di Adua. Jenderal Baratier dengan tentaranya yang berjumlah lebih dari 2000 orang menyerah dan lebih dari 6000 terbunuh atau luka-luka. Bencana ini mengakibatkan kabinet Crispi jatuh. Perdana menteri baru, Marquis Rudini, menerima perjanjian Addis Abbeba (1896), yang berisi bahwa Italia mengakui kemerdekaan penuh negeri Ethiopia dan Italia harus membayar ganti kerugian perang kepada Menelik sebanyak dua juta dollar.
Sesudah kekalahan di Adua tersebut, kaum politisi Italia berpendapat bahwa untuk memenuhi kepentingannya di Laut Tengah, Triple Alliance sebenarnya tidak mempunyai arti apa-apa selama hubungan antara Jerman dan Inggris tidak baik. Oleh sebab itu pemerintah Italia akan menempuh jalan lain untuk mencapai cita-citanya dan hal ini berakibat pendekatan Italia kepada Prancis. Italia makin lama makin jauh dari sekutu-sekutunya.

3.         Tripoltania
Pendudukan Prancis terhadap Tunis pada tahun 1881 mengakibatkan hubungan anatara Prancis dan Italia menjadi buruk untuk bebrapa tahun lamanya. Italia yang sangat kecewa atas tindakan persaingannya itu, menghendaki adanya persekutuan dengan Jerman. Akan tetapi Bismarck insyaf bahwa persekutuan negerinya dengan Italia akan menimbulkan kecurigaan kepada sahabatnya, Austria. Maka ia menjawab kepada Italia bahwa “jalan ke Berlin harus melalui Wina”. Ini berarti bahwa apabila Italia bermaksud mengadakan persekutuan dengan Jerman, Italia harus melepaskan cita-cita “Irredenta”-nya. Italia mengikuti saran tersebut. Pada 1882 Italia menggabung kepada persekutuan Austria-Jerman dan terbentuklah Triple Alliance. Persekutuan ini berlaku untuk lima tahun. Pada 1887 Triple Alliancediperbaharui. Disamping itu Italia juga membuat perjanjian rahasia dengan Jerman. Keduanya akan bahu-membahu, berjuang merintangi usaha Prancis untuk memperluas pengaruhnya di Afrika Utara. Jerman juga akan membantu Italia merintangi Prancis apabila negeri itu akan merampas Tripoli.
Perjanjian tahun 1887 tersebut juga memuat ketentuan bahwa Inggris dan Austri-Hongaria menjanjikan kepada Italia, akan merintangi usaha Prancis memperluas daerah pengaruhnya di Afrika Utara.
Tetapi semua janji-janji tersebut tidak ada yang dipenuhi. Akibatnya Italia mendekati Prancis lagi. Pada 1990 Italia mengadakan perjanjian secara rahasia dengan Prancis yang berisi bahwa Prancis tidak akan merintangi usaha Italia untuk memperoleh Tripolitania dan Cyrenaica, tetapi Italia harus melepaskan seluruh kepentingannya ke Marokko.
Ketika Triple Alliance diperbaharui (1902), Jerman menjanjikan kepada Italia akan memberi bantuan militer pabaila Prancis akan merintangi usaha Italia di Tripolitania dan Cyrenaica.
Sesudah mengadakan perjanjian rahasia dengan negara-negara besar di Eropa (1909), Italia mulai melakukan “peaceful penetration” di kedua propinsi itu. Bank Italia, Banca d’Italia, Banca di Roma, tampil kedepan menjalankan peranannya. Pada 1911, ketika angkatan perang Italia telah siap dan mendapat izin dari negara-negara besar, Italia mengirimkan ultimatum kepada Turki, pemilik syah daerah Tripoli dan Cyrenaica. Sultan diperingatkan bahwa “keadaan kacau, tak teratur dan terlantar dan tidak dihiraukan oleh Turki itu harus diakhiri”. Sultan menjawab apabila Italia berkehendak untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan maka sejengkal tanahpun tidak akan diserahkan kepadanya.
Pada 1912 Italia mengumumkan perang kepada Turki. Tentara Italia menduduki Kota Tripoli, merebut bandar-bandar di pantai Tripoli. Karena pada waktu itu Turki sibuk menghadapi perang di Balkan, maka pada 1912 itu juga, perang melawan Italia dihentikan. Perjanjian menyusul dengan ketentuan bahwa Italia memperoleh daerah-daerah yang diperjuangkan itu. Liba (Libia Italiana), nama kuno pada zaman Roma, diberikan kepada kedua daerah tersebut. Tanah jajahan itu luasnya kira-kira 580.000 mil persegi. Tetapi kemudian Italia mengetahui bahwa Libia bagian pedalaman adalah gurun pasir belaka. Hanya di sana-sini di tepi pantai terdapat tanah-tanah yang subur.
Dengan dikuasainya Liba oleh Italia ini berarti bahwa seluruh Benua Afrika, selain Ethiopia dan Liberia telah menjadi jajahan negara-negara Barat.

II.      KRISIS MAROKO

1.         Krisis Maroko ke-1
Maroko terletak di Afrika Utara sudut barat, di sebelah Jabaltarik. Tanah yang subur, kaya akan baja dan besi, iklimnya menyenangkan, letaknya strategis dan memiliki bandar-bandar yang baik.
Daerah luas itu diperintahkan oleh seorang sultan dengan sebutan sherif. Banyak kaum kapitalis yang menanamkan modalnya di negri tersebut. Untuk dapat memperoleh keuntunga yang sebesar mungkin. Maka negara barat bersaing dalam menanamkan kekuasaannya. Spanyol karena alasan historis, pada 1859-1860 mengirimkan akatan perangnya, tetapi di kembalikan oleh inggris. Prancis ingin mendapatkan Maroko untuk memperluas imperiumnya. Inggis karena alasan-alasan strategi dan menghendaki agar Tanger tidak didirikan Benteng-Benteng, sedangkan Jerman sejak 1873 telah memiliki perwakilan di istana sultan.
Berhubung semua negara mempunyai kepentingan di maroko, maka semua negara tidak menghendaki apabila salah satu di antaranya dapat menguasai negri tersebut. Oleh sebab itu kedaulatan sultan tetap terjamin. Tetapi pada 1878, ketika Prancis mendirikan pangkalan militer di fez, sehingga membuat negara-negara barat lainnya khawatir Prancis menguasai Maroko. Mereka menentukan diadakannya konvensi untuk menentukan nasib maroko.
Pada 1880 empat belas negara eropa beserta amerika berkumpul di Madrid dan konvensi ini memutuskan bahwa status quo sultan maroko harus dipertahankan dan negri itu harus menjalankan politik pintu terbuka.
Sejak itu makin banyaklah modal Barat yang masuk ke Maroko. Persaingan antar negara semakin hebat., sehingga Maroko merupakan tempat yang berbahaya dalam gelangan politik internasional. Persaingan di antara Prancis dan Jerman di negri ini akan dapat mengancam perdamaian dunia, khususnya bagi eropa.
Sesuadah mengalami kekalahan dalam menghadapi masalah Fashoda, Mentri luar negri Prancis Delcasse (1898-1905) berusaha menaikkan prestise negrinya dengan menumpahkan perhatiannya ke Maroko. Prancis mengugunakan kesempatan yang baik itu, sewaktu inggris sedang sibuk dengan uruan Afrika Selatan sedangkan Italia dan Prancis telah ada pendekatan-pendekatan. Maka selain memperkuat tentaranya, Prancis juga mengadakan perjanjian-perjanjian.
Pada 1900 tercapai lagi perjanjian antara Prancis dengan italia. Isinya antara lain:
1.             Prancis bebas bertindak di Maroko, sebaliknya Italia bebas bertindak di Tripoli
2.             Jika salah satu dari dua negara tersebut diserang musuh, yang lain akan tetap bersikap netral. Tindakan italia ini disenut “Extra Tour” dan mengakibatkan selesainya riwayat Triple Alliance. Pada tahun itu juga Prinetti, Mentri luar Negri Italia menolak pembeharuan Triple Alliance.
Prancis juga mengadakan perjanjian dengan spanyol, yang berrti memperkuat kedudukan Prancis di kontinen dan akan membahayakan Jerman. Isi perjanjian tersebut membagi daerah-daerah pengaruh antara kedua penguasa itu. Spanyol mendapatkan pantai utara, termasuk Tanger dan Fez dan sebagian di sebelah selatan. Prancis mendapatkan sisanya. Tetapi ketika di spanyol ada pengantian kabinet dan kabinet baru itu tidak berani melanjutkan hubungan baik dengan prancis karena takut kepada inggris, maka perjanjian prancis-spanyol tidak ada artinya.
Pada 1903 Raja Edward VII, penggantian Ratu Victoria, bersikap lebih condong pada Prancis dari pada Jerman. Prancis mula-mula ragu-ragu, sebab persekutuan dengan Inggris akan berakibat melemahkan Prancis-Rusia dan akan mengakibatkan munculnya kembali Dreikaserbund. Tetapi akhirnya Prancis menerima usul Inggris untuk menghentikan pertentangan antara Inggris dan Prancis di koloni-koloni. Pertikaian, pertentangan di Newfoundland, di afrika barat dan afrika tengah dapat diatasi. Pertentangan Inggris-Prancis yang terhebat pada waktu itu tidak terdapat di mesir, tetapi di maroko. Bagi inggris penguasaan prancis terhadap maroko sudah sangat bahaya. Karena letaknya berhadapan dengan Jabaltarik. Disamping itu juga karena hal itu menyukarkan Inggris dalam mengawasi Laut Tengah. Dengan demikian Inggris menghendaki supaya jangan ada negara lain yang menguasai daerah yang letaknya di hadapan Jabaltarik.
Pada 1903 Delcasse mengunjungi London. Masalah Mesir dibicarakan dan berhasil dapat mengatasi segala kesulitan. Pada tahun berikutnya terjadi perang antara Rusia dan Jepang. Dalam hal ini Prancis bersikap netral, tidak membantu Rusia. Dua bulan kemudian tercapailah suatu perjajian antara Inggris dan Prancis yang terkenal dengan Morocco Egyptian Agreement atau Entente sebaliknya Inggris tidak keberatan jika Prancis menamkan kekuasaannya di Maroko, selain daerah pantai utara yang akan diserahkan kepada Spanyol, negeri yang tidak kuat. Tidak boleh ada benteng di depan Jabaltarik. Semua pertentangan antara Inggris dan Prancis baik mengenai urusan ekonomi maupun koloni di akhir. Kedua negri tersebut akan saling bantu-membantu.
Pada 1904 itu juga Prancis mengadakan perjanjian dengan spanyol. Tentang Fez tidak dibicarakan seperti pada perjanjian sebelumnya. Pembagian daerah pengaruh diadakan.Spanyol menerima daerah di sepanjang sepanjang pantai dan sisanya untuk Prancis. Spanyol harus berjanji bahwa haknya di daerah Maroko tidak akan diserahkan kepada negara “ketiga”. Kota Tanger berada dibawah pengawasan internasional untuk menjaga jangan sampai di kota itu didirikan benteng-benteng.
Sesudah mengadakan perjanjian. Delcasse mengumumkan bahwa telah tiba saatnya bagi Prancis untuk menjaga kepentingan Marooko. Prancis mulai melakukan “ peacafulnetration” dengan cara mendapatkan konsesi-konsesi dari sultan abdul aziz untuk kaum kapitalis Prancis. Tindakan semacam ini disebut “Tunification” terhadap Marooko. Sultan abdul azis yang naik tahta pada 1900 pada usia 16 tahun, menghambur uang kas negri menjadi kosong. Untuk mengisi kas tersebut, ia memsukkan sistem pemungut pajak yang berat dan mencari pinjaman ke Bank Prancis.Ketika ia tidak dapat membayar kembali, ia terpaksa menerima bantuan orang-orang Eropa untuk mejalankan sistem pengumpulan pajak secara modern juga aparatur polisi secara modern.
Delcasse mengirim M. Saint Rene Taliliandier ke Fez dengan membawa program”pembaharuan” yang pelaksanaannya harus berada dibawah pengawasan Prancis. Polisi militer dibentuk di bawah opsir-opsir Prancis. Bank negara didirikan untuk memperbaiki keadaan keuangan dan berbagai bangunan didirikan dengan menggunakan modal prancis.
Negara-negara yang menetang Prancis adalah Jerman. Inggris,Spanyol, dan Italia sudah terikat suatu perjanjian, sedangkan Rusia adalah sekutunya. Jerman menolak penentuan basib marooko melalui perjanjian-perjanjian tersebut di atas, dan menentukan isi konvesi Madrid (1880) tetap dihormati. Maroko harus tetap sebagai lapangan penanaman modal negara eropa. Didaerah itu kepentingan Jerman harus sama dengan kepentingan Prancis ataupunInggris. Intervensi Jerman terhadap Maroko ini disebabkan karena Jerman pada waktu itu sangat membutuhkan ekspansi kolonial bagi kepentingan modalnya.
Pada maret 1905, mentri Baron Von Holstein mempersilahkan Kaisar Wilhem II mengunjing Tanger. Kaisar mendarat selama 4 jam dan megadakan pidato yang isinya mengakui kedaulatan kemerdekaan maroko. Kaisar juga mengumumkan bahwa beliau adalah pembela maroko, maroko akan terbuka lagi perdagangan segala bangsa dengan hak-hak yang sama.
Pidato kaisar tersebut merupakan tantangan bagi rencana Delcasse. Tetapi Prancis pada watu itu belum siap mengadakan perang. Kepentingan antara kedua negri tersebut makin hari makin memuncak. Rusia, sekutu prancis, sesudah mengalami kekalahan melawan Jepang pasti tidak akan memebantu Prancis sedang bantuan dari Inggris belum dapat di pastikan.
Politik Jerman pad waktu itu di tunjukan untuk mematahkan Entente Cordile dengan cara menarik Rusia, kemudian Prancis kepihaknya. Dalam hal ini Jerman akan menunjukkan kepada Prancis bahwa Entente Cordiale itu tidak ada artinya. Dan ini berarti suatu ujian bagi Entente.
Prancis Inggris tidak pernah lupa akan bahaya apabila Eropa bagian kontinen bersatu seperti pada zaman Nelson. Bahaya persatuan Eropa di bawah pimpinan Jerman menghadapi Inggris seakan dapat di realisasi, ketika kaisar menjumpai Tsar di Teluk Bjorko di laut timur, yang pada waktu sedang berusaha melupakan keruwetan di dalam negrinya. Kedua kepala negara itu menandatangani perjanjian yang berarti menyeret Rusia pada pihak Jerman. Perjanjian ini akan di perbaharui dan akan menarik Prancis ke dalamnya, apabila Inggris terbukti tidak memeberi bantuan kepada Prancis. Dengan demikian Kaisar mengangap bahwa Liga  Kontinental pasti akan tercapai.
Ketika Jerman menuntut diadakan konferensi internasional, Paris harus menentukan pilihannya setia pada Entente Cordiale (1904) atau menerima usul Jerman. Delcasse menolak tuntutan Jerman, tetapi suara publik dan juga mentri-mentri lainnya dalam kabinet Rouviermenyesalkan bahwa politik Delcasse yang anti Jerman itu akan membawa negrinya dalam kedudukan yang berbahaya.
Kekalahan armada admiral Rozdestwensky oleh armada Jepang di selat Tsuhima pada Mei 1905 merupakan pertempuran yang menentukan. Amerika serikat dan jerman yang takut politik pintu terbuka di Tiongkok diakhiri. Cepat-cepat menganjurkan agar Rusia menghentikan perangnya. Kekalahan Rusia yang merupakan sekutu prancis, mengakibatkan Prancis menerima tuntutan Jerman, mengadakan suatu konferensi untuk menentukan nasib Maroko. Rouvier sendiri bertindak sebagai mentri luar negri dan Delcasse meletakkan jabatan. Konferensi tersebut dilangsungkan di Algeciras (Januari 1906).
Konferensi itu akan dipergunakan Jerman untuk menghina Prancis, mematahkan Duel Alliance dan menunjukkan kepada Inggris bahwa ia salah dalam memilih sahabat. Diadakannya pertemuan itu berarti suatu kemenangan bagi Jerman. Tetapi kemenangan itu hanya berlangsung sebentar saja, karena hasilnya merupakan kekalahan bagi Jerman. Dalam konfrensi itu Inggris, Prancis, Rusia, dan Spanyol merupakan kelompok kuat untuk menghadapi Jerman. Mengenai hal-hal yang penting, Amerika Serikat dan Italia juga membantu Prancis.
Hanya Austria sajalah yang membantu Jerman. Akhirnya diputuskan:
1.        Kedaulatan Sultan secara formal diakui.
2.        Kepolisian dan bank nasional berada dibawah pengawasan internasiona.
3.        Prinsip politik pintu terbuka bagi semua bangsa tetap berlaku.
4.        Prancis diberi kebebasan menjalankan : “peaceful penetration”, di maroko,kecuali pantura.
5.        Daerah pantura di serahkan ke spanyol
Dengan demikian Jerman, mengalami kekalahan diplomatik di Algeciras. Kemenangan jerman dalam perjuangan tersebut dapat disebut kemenangan Phyrrhic. Sebaliknya inggris adalah pemenangan dalam perjuangan itu. Entente Cordiale tidak hanya di uji tentang ke stabilannya, tetapi juga mejdai lebih kuat, karena rusia sudah bersedia mendekati Inggris. Itali melanjutkan “Extra Tour” mendekati prancis dan Inggris. Dengan lain perkataan jerman sama sekali Gagal dalam usaha memecahkan belah Inggris dan Prancis. Untuk sementara Krisis maroko fase pertama ini telah dapat di atasi. Krisis ini dapat dianggap sebagai percobaan mengadu kekuatan yang pertama kali antara Jerman di satu pihak dan negara-negara barat di pihak lain.

3.         Krisis Maroko ke-II
Sesudah diadakan Konferensi Algeciras sampai 1911, terjadilah bermacam-macam konfilk antara tentara Prancis dan pendudukan Maroko dan di Melilla antara orang-orang Spanyol dan penduduk pegunungan.
Pada tahun 1909 sebuah perjanjian antara Jerman dan Prancis di tanda tangan. Isinya ialah kemerdekaan sultan di akui dan persamaan hak dalam lapangan ekonomi diberikan bagi semua bangsa.
Pengaruh Prancis di Marooko makin bertambah, tetapi situasi perekonomiannya terancam. Kedudukan prancis sangat sulit, lebih-lebih ketika mulai ada pemberontakan pada 1911.
Ibu kota Maroko di kepung oleh kaum pemberontak dan tentara Prancis segera menunduki kota tersebut. Jerman menuduh tindakan Prancis itu sebagai tanda bahwa Prancis menghendaki protektor atas Maroko. Peristiwa tersebut di pakai oleh Jerman untuk mendapatkan kompensasi.
Paris sibuk membicarakan masalah tersebut. Pada juli 1911 kedutaan jerma di berbagai ibukota mengumumkan, bahwa pemerintahannya telah memutuskan untuk melindungi kepentingan Jerman, bahkan mengirim sebuah kapal perang dan kapal meriam “Panther” memasuki bandar Agardir Pantai Samudra Atlantik.
Munculnya “Panther” merupakan suatu tantangan bagi Prancis begitu pula Inggris. Inggris menuduh  Jerman mendirikan pangkalan laut di pantai atlantik dan tindakan itu mengancam perdamaian dunia. Inggris pun memberi peringatan kepada Jerman.
Terjadilah krisis Maroko yang kedua, Persiapan perang secara mendalam telah dilakukan Inggris, Prancis, dan Jerman. Tapi keadaan itu dapat diatasi dengan melakukan perjanjian berisi “ Jerman harus meninggalkan Agardi dan mengakui protektor prancis terhadap maroko.
Sejak saat itu Prancis memeperoleh daerah yang sangat luas di Afrika Utara. Krisis Maroko pun Berakhir. Akibatnya Hubungan Jerman Inggris menjadi buruk.