Selasa, 21 Mei 2013

AKHIR PERANG DINGIN



Perang Dingin (Cold War) adalah suatu istilah yang diberikan untuk persaingan dan konflik antara negara-negara Barat yang dipimpin Amerika Serikat di satu pihak dengan blok Komunis pimpinan Uni Soviet dilain pihak. Perang Dingin terjadi setelah Perang Dunia II.
Hakikat perang dingin itu adalah pertentangan antara dunia bebas dengan Uni Soviet dalam lapangan politik, ekonomi, militer dan propaganda.
Dalam lapangan militer kedua pihak membangun persekutuan yang kuat, Amerika membentuk Nato dan Uni Soviet membangun Pakta Warsawa. Sementara itu terjadi perlombaan persenjataan nuklir dalam berbagai bentuk.
Selain dalam militer, dalam politik terdapat persekutuan dan negara satelit. Rusia menguasai Eropa Timur, terbaginya Jerman menjadi Jerman Timur dan Jerman Barat serta Berlin Barat dan Berlin Timur.
Yugoslavia dan Jepang mengikuti politik negara Barat. Cina Komunis dekat dengan Moskow. Iran ingin dikuasai oleh Rusia, tetapi mendapat teguran hebat dari PBB.
Mengingat kegiatan politik di atas maka Truman mengeluarkan doktrin (Truman Doctrin) bahwa Amerika akan membantu negara Eropa dalam bidang ekonomi, militer. Adanya rencana Marshall (Marshall Plan) yang menetapkan kerja sama USA dengan negara Eropa dalam bidang pembangunan, membantu Eropa untuk membangun ekonominya kembali.


I.      Akhir Perang Dingin
Setelah Perang Dunia II usai, Uni Soviet mengalami penguatan otoritas yang cukup berarti, dengan terbentuknya hubungan kerjasama diplomatik dengan 52 negara. Soviet ikut serta dalam konferensi paris tahun 1946, membahas nasib bangsa-bangsa bekas sekutu jerman seperti: Italia, Bulgaria, Hungaria, Rumania dan Finlandia.
Peranan penting Uni Soviet pasca PD II adalah keikutsertaannya memperkrasai berdirinya PBB pada tahun 1945 bersama dengan kekuatan anti-fasis lainnya. Namun kemesraan hubungan negara-negara yang tergabung dalam koalisi anti-fasisme itu tidak bertahan lama. Pada tahun 1946 Stalin menuduh Inggris dan Amerika Serikat melancarkan kebijakan-kebijakan internasional yang agresif. Ini dijawab oleh PM Inggris Winston Churchill dengan menentang kekuatan apa yang disebutnya “Komunis Timur”, yang pada gilirannya membelah sistem perpolitikan internasional dalam dua blok besar yakni Blok Barat yang dikomandoi Amerika Serikat dan Inggris dan Blok Timur oleh Uni Soviet. Amerika Serikat (AS) lalu memperbanyak basis-basis militernya dan mengurangi volume perdagangan dengan Uni Soviet dan negara-negara sosialis, sementara Uni Soviet menyelenggarakan kebijakan “Tirai Besi” (mengisolasi diri).
Konfrontasi dua sistem kekutan ini dikenal dengan istilah Perang Dingin (1946 sampai akhir 1980-an) yang ditandai dengan perlombaan senjata, perimbangan kekuatan dan ancaman perang nuklir.
Pada tahun 1949 Jerman, sebagai negara yang kalah perang dipecah menjadi 3 bagian yang meliputi: Jerman Barat, Jerman Timur dan Berlin Barat. Pada tahun tersebut Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Barat membentuk aliansi yang disebut NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara), sedangkan Uni Soviet membentuk SEV atau Dewan Kerjasama Ekonomi Negara-Negara Sosialis.
Menyadari meningkatkannya suhu politik internasional dan menguatnya ancaman terhadap negara, maka pemimpin Uni Soviet  menekankan peningkatan teknologi persenjataan nuklir yang mendorong perimbangan kekuatan senjata terhadap Barat.
Pada tahun 1955 untuk mengimbangi kekuatan NATO, Soviet membentuk Organisasi Perjanjian Warshawa (OWD) atau yang lebih dikenal dengan Pakta Warsawa. Dan pada tahun 1957 di Eropa dibentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Pemerintah Kruschev mencanangkan koeksistensi damai (mirnoe sosushyestvovanie) dalam kaitannya dengan NATO. kebijakan ini memungkinkan perbaikan hubungan dengan negara-negara Eropa Barat. Namun hal itu tidak berlangsung lama, beberapa konflik tak langsung yang melibatkan Uni Soviet dan negara-negara NATO terjadi di berbagai belahan dunia.
Dalam Krisis Suez (1956), dukungan Soviet terhadap Mesir yang berupaya menasionalisasi Terusan Suez, menyebabkan agresi kemarahan Inggris dan Prancis.
Penempatan rudal-rudal dan peralatan militer buatan Soviet di Kuba untuk mengantisipasi kemungkinan agresi Amerika Serikat ke negara sosialis itu, menyebabkan Krisis Karibia (1962) dimana Amerika Serikat mengumumkan blokade militernya. Aksi militer di Kuba ini sebenarnya dipicu oleh agresivitas Amerika Serikat dengan penempatan roket-roket tektisnya di teritori Turki.
Penguatan tekanan terhadap negara-negara yang tergabung dalam payung sosialisme terlihat pada era Brezhnev. Kekuatan gabungan Uni Soviet, Polandia, Bulgaria, Rumania dan Jerman Timur menghancurkan gerakan rakyat Cekoslovakia, pasalnya gerakan di bawah Alexander Dubchek itu dianggap membahayakan payung sosialisme di negara tersebut. Hal serupa juga dialami Lech Walensa (1980) di Polandia.
Beberapa perang saudara seperti : Perang Korea, Perang Vietnam dan Perang Afghanistan terjadi dan melibatkan kekuatan kedua kubu yang berseteru dalam Perang Dingin.
Selama Perang Dingin setidaknya 19 kali Uni Soviet mengirim bantuan militer ke negara-negara yang dilanda konflik seperti : Korea Utara, Hungaria, Aljazair, Kuba, Mesir, Vietnam, Ethiopia, Afghanistan dan sebagainya. Selama periode itu sedikitnya 16 ribu tentara Soviet tidak kembali (hilang, gugur) dalam tugas di luar teritori Rusia.[1]
Perang dingin ini antara lain : Rusia menutup jalan masuk Berlin Barat yang melalui Berlin Timur. Maka untuk membantu kehidupan ekonomi Berlin Barat Amerika-Inggris-Prancis terpaksa mengadakan pengangkutan udara Berlin tahun 1948-1949. Peristiwa ini hampir saja mengobarkan perang terbuka kembali, tetapi Uni Soviet mundur selangkah membuka kembali jalan masuk Berlin Barat melalui Jerman Timur.
Konflik-konflik lainnya dalam Perang Dingin dapat disebutkan seperti misalnya :
v  Penyerbuan Uni Soviet ke Hongaria tahun 1956, di mana kemudian di bawah dukungan Uni Soviet, pemerintahan Yanos Kadar segera melakukan pembersihan di Hongaria terhadap unsur-unsur anti Komunis.
v  Dalam tahun 1957 sebagai persaingan persenjata, Uni Soviet di bawah pemerintah Kruschev mampu membuat Bom Hidrogen.
v  Uni Soviet membentuk aliansi dengan Kuba, yang membawa sukses Fidel Castro dalam revolusi tahun 1959. Pada tahun 1962 aliansi Uni Soviet  – Kuba membawa konflik dengan Amerika Serikat, karena Kuba meminta bantuan agar Uni Soviet menempatkan sejumlah peluru kendali di negerinya. Namun berkat protes karena Amerika Serikat (JF kenedy), penempatan peluru-peluru tersebut dibatalkan.
v  Tahun 1955 sebagai saingan NATO, dan sebagai stabilisasi di Eropa, Uni Soviet membentuk Pakta Warsawa dan tahun 1961 membangun tembok Berlin untuk membendung pengaruh barat di Jerman Timur.
v  Konflik-konflik lain dalam era Perang Dingin, terjadi di Angola, Chili, Timur Tengah, Korea, Vietnam, Cekoslovakia, Nikaragua. Dan pada masa Breznev (1979), Uni Soviet menginvasi ke Afganistan.[2]
Akhir Masa Pasca Perang
“Masa pasca perang runtuh di tahun 1989,” demikian menurut Jeane J. Kirpatrick, mantan Duta besar Amerika Serikat di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama Pemerintahan Reagan. “Perang dingin sudah usai, hampir,” katanya. “masa pasca perang sudah selesai, itu pasti.” Empat dasawarsa perdamaian di Eropa yang tidak tenang telah berakhir dengan runtuhnya kerajaan Uni Soviet, munculnya Jerman yang bersatu, pemulihan yang berbahaya dari negara-negara meeka di Eropa Timur.
Dengan demikian berakhirlah masa dalam sejarah yang dikuasai oleh tokoh lama yang menjadi pikiran, yakni Josef Stalin yang hidup atau mati, meninggalkan bayangan besar di atas segenap umat manusia. Kalau ada satu saja alasan yang dapat dipilih untuk Perang Dingin, itu merupakan kenyataan bahwa orang fanatik ini yang mengancam, yang sulit dimengerti, yang mempunyai tekad dan para penggantinya telah mengemudikan Uni Soviet menempuh seperempat abad yang menyaksikan bangkitnya ke status negara adikuasa.
Pertikaian yang menyita umat manusia dalam “masa pasca perang” tersebut merupakan bencana besar yang tidak sehebat dua perang dunia sebelumnya, akan tetapi menuntut  biaya yang luar biasa dari para peserta maupun penonton, dan semua gembira untuk melihat akhir masalah itu. Siapa pemenang dan siapa yang kalah dalam perjuangan yang menakutkan ini antara negara-negara adikuasa itu ? pemenang yang paling jelas ialah dua negara yang dikalahkan dalam Perang Dunia II, Jepang dan Jerman, maupun bangsa-bangsa di Eropa Tengah yang memperoleh kemerdekaan mereka. Siapa yang kalah ? yang paling pasti ialah Uni Soviet, akan tetapi juga korban manusia dari konflik negara adikuasa: korban perang di Korea, Indocina, Afghanistan dan Nikaragua – maupun mereka yang gagal dalam perjuangan mereka untuk kemerdekaan di kedua sisi Tirai Besi. Para sejarawan akan lama berdebat tentang apa yang mendasari sebab-sebab, biaya, dan keuntungan Perang Dingin, akan tetapi satu kesimpulan tampaknya tidak dapat dibantah: selama hampir setengah abad dunia terhindar dari akibat bencana nuklir, dan Benua Eropa relatif tentram sesudah berabad-abad perang yang tiada henti-hentinya. Dalam apa yang disebutnya “pandangan ke belakang yang tenang dan berhati-hati kepada apa yang menyebabkan perdamaian Eropa bertahan begitu lama,” John Lewis Gaddis memuji “penentuan lingkungan pengaruh Soviet dan Amerika sesudah Perang Dunia II. Persaingan ideologis dan militer di seluruh dunia, selama empat setengah dasawarsa sesudah tahun 1945, mempunyai pengaruh ditekannya persaingan regional yang mendorong Eropa ke dalam dua perang dunia dalam tiga dasawarsa sebelum tahun 1945.”
Barangkali tidak seorang pun bahkan Stalin pun tidak akan menginginkan Perang Dingin. Demobilisasi adalah universal sesudah Jepang menyerah. Garis perbatasan yang dibuat di Yalta dipahami oleh Churchill, Roosvelt, dan Stalin mempunyai sifat sementara sampai perjanjian perdamaian dapat dirundingkan. Tidak ada pemikiran tentang pembentukan pasukan pendudukan yang tetap, apakah itu di Eropa atau di Asia. Akan tetapi, kecurigaan timbal-balik, berdasarkan pengalaman yang berat dan perbedaan ideologis yang mendasar, menyebabkan kedua pihak perlahan-lahan memperkokoh kedudukan mereka, sampai menjelang tahun 1950 garis-garis batas ditetapkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Ledakan kemerdekaan yang terjadi di tahun 1989 di seluruh kerajaan Soviet itu menyebabkan tidak banyak lagi sisa sebagai pembela eksperimen komunis. Hanya waktulah yang akan mengungkapkan pemenang terakhir dalam perjuangan yang bersejarah ini antara negara adi kuasa tersebut, akan tetapi mungkin pada tempatnyalah beberapa pemikiran tentang bagaimana terjadinya Perang Dingin itu.[3]

Dampak Perang Dingin terhadap Asia
Sementara Perang Dingin membawa empat puluh tahun perdamaian yang tidak tenang untuk Eropa, Perang Dingin mengancam mengubah keadaan revolusi dan perang saudara di Asia menjadi tembakan pembukaan serentak untuk menuju Perang Dunia III.
Paul kennedy menulis,  bahwa “Sistem Internasional, apakah dikuasai Oleh enam Negara Besar atau oleh dua saja, tetap secara anarki yakni, tidak ada wewenang yang lebih besar dari pada negara bangsa berdaulat, yang mementingkan diri sendiri.”  Apabila kennedy benar, seperti saya kira memang begitu, uraiannya berlaku untuk Asia selama tiga dawarsa pertama dari perang dingin. Jumlah negara yang bersaing sudah berkurang dari lima (Jepang, Inggris, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat) menjadi dua. Sudah tentu, menjelang tahun 1980-an, Jepang memperoleh kembali perannya sebagai negara besar.
Sebagai negara yang dominan di Asia, Amerika Serikat tidak mempunyai pilihan kecual mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh runtuhnya jepang. Bahkan sebelum perang berakhir, persaingan dengan Uni Soviet tidak dapat dielakkan. Akan tetapi, Amerika serikat belum cukup siap untuk peran seperti itu di Asia. Kecuali jumlah pejabat departemen luar negeri dan misionaris yang relatif kecil, Amerika Serikat tidak banyak berkepentingan atau mempunyai pengetahuan tentang negara-negara, selain Jepang dan Cina. Lagi pula, ada prasangka yang dalam sekali terhadap orang-orang Asia di Amerika Serikat.
Karena terpaksa, pertimbangan yang penting di berikan kepada masalah startegis. Akan tetapi, disamping mendasarkan politiknya atas penilaian militer-politik yang keras kepala, proses pengambilan keputusan di Amerika dipengaruhi oleh dua faktor lain yang keabsahannya diragukan : mitos tentang Cina dan Hipotesis tentang perubahan revolusioner di Asia.
Mitos itu ialah “Pintu terbuka di Cina,” yang berasal dari zaman kapal-kapal Clipper lebih dari seabad yang lalu. Mitos ini melambangkan Cina sebagai pasar kapitalis yang paling besar yang belum disadap, terdiri dari beratus juta konsumen, yang harus terbuka untuk perdagangan Amerika atas syarat yang sama dengan saingan asing serta domestik. Di samping itu, Cina di gambarkan sebagai ladang yang kaya untuk misionaris protestan yang alturistik (mengutamakan kepentingan orang lain), dan nenek moyang mereka ialah diantara perintis pertama dalam invasi tanpa kekerasan Amerika dan Asia. Menurut mitos ini, Amerika Serikat tidak mempunyai ambisi imperial, akan tetapi hanya menuntut “Pintu Terbuka” untuk kegiatan perdagangan msionaris. Kedua negara tersebut akan sama-sama berbagai keuntungan :  barang Cina akan mengalir ke Amerika; dari Amerika ke Cina, barang hasil pabrik, teknologi, demokrasi, dan agama kristen.
Hipotesis tentang perubahan revolusioner di Asia pasca perang ialah, bahwa Komunisme dunia merupakan kesatuan yang terpadu, bahwa revolusi di Cina atau di tempat lain diorganisasi dan dikendalikan oleh Uni Soviet, dan bahwa pemerintahan marxis bekerja dengan serempak. Bahkan sosialis yang non-komunis pun dianggap sebagai alat yang tidak disadari bekerja untuk Rusia. Hipotesis ini mengabaikan kemungkinan bahwa, meskipun tuntutan mereka, kaum revolusioner Asia adalah nasionalistik-patriotik dan bukan alat persekongkolan.
Harus diakui bahwa pandangan ini dipupuk oleh Lenin dan Stalin, yang bermimpi tentang kemenangan Revolusi Dunia Marxis yang tidak dapat dihindarkan dan berusaha mengumumkannya di seluruh Asia. Hipotesis Amerika tersebut sesuai dengan impian Soviet. Dengan demikian, baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet menganggap negara-negara Asia yang merdeka sebagai alat politik mereka sendiri dan gagal memahami dengan sungguh-sungguh cita-cita nasional bangsa-bangsa di Asia.
Hipotesis bahwa Moskow memimpin pemberontakan di Indochina, Malay dan Hindia-Belanda sesudah Jepang menyerah, menyebabkan Amerika mendukung pemerintah kolonial Prancis, Inggris dan Belanda. Amerika memberikan alasan tentang peningkatan dengan perlahan-lahan kegiatannya di Vietnam Selatan dan akhirnya perang itu menjadi perang Amerika, untuk menang atau kalah. Hipotesis itu menyebabkan dipersenjatainya secara rahasia kaum Montagnard di Laos untuk melawan Viet Minh. Juga menyebabkan CIA membantu secara gelap pemberontakkan melawan pemerintahan Soekarno, yang berakibat ditembak jatuhnya Allen Pope di Celebes (Sulawesi). Juga memungkinkan pejabat yang diktatorial dan kadang-kadang korup untuk memerintah negara mereka di bawah payung Amerika atas nama anti-komunisme.
Mitos tentang Cina mempunyai dua pahlawan dari dongeng anak-anak : Jiang Jeishi (Chiang Kai-Shek) dan istrinya yang mendapat pendidikan di Amerika. Tiga miliar dolar dalam bantuan militer gagal untuk menyelamatkan pemerintahan Chiang yang korup, dan demikianlah semua dianggap hilang, ketika Mao menang di tahun 1942. Pintu yang terbuka tersebut lalu ditutup, perdagangan diputuskan antara Cina dan Amerika, dan misionaris, sesudah masa hukuman penjara, diusir  dari Cina. Akan tetapi, mitos itu hidup kembali, sesudah kunjungan Nixon ke Peking (Beijing) di tahun 1972 – hanya untuk tinggal sebagai mitos.
Dengan demikian kita melihat dalam garis besar, bagaimana Perang Dingin berperan di Asia: dalam Perang Korea yang berakhir dengan jalan buntu (stalemate); Perang Vietnam yang berakhir dengan kekalahan Amerika Serikat dan meningkatnya ketegangan antara Cina dan Uni Soviet dan di Kamboja, pusat dari medan pembunuhan.
Perang Dingin memperkuat elite bisnis-militer di Korea Selatan , Filipina, Muangthai dan Indonesia. Tanpa Perang Dingin, bentuk pemerintahan yang kurang otoriter mungkin mempunyai kesempatan untuk tumbuh di banyak negara Asia Tenggara dan mungkin tidak.
Akan tetapi, tanpa pemasukan bantuan militer dan bantuan teknis yang dirangsang oleh Perang Dingin, prasarana di Korea Selatan dan Muangthai khususnya, mungkin memerlukan beberapa dasawarsa lebih lama lagi untuk berkembang. Jalan raya yang dibangun untuk pengangkutan militer menjadi jalan pembantu untuk perkembangan di bidang pertanian dan industri.
Bagaimanapun juga, penderitaan yang hebat disebabkan oleh tumpahan Perang Dingin terasa ke Asia: di Korea, Vietnam, dan Kamboja khususnya; akan tetapi, juga di Amerika, yang terkena luka goresan dengan parut yang permanen akibat pengalamannya dalam Perang Vietnam.
Soviet juga tidak luput dari akibat keterlibatannya dalam Perang Dingin, khususnya di Afghanistan: perang yang tidak dapat mereka lupakan.[4]
Ambruknya ideologi Komunis baik di Eropa Timur maupun bubarnya negara Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin, penarikan pasukan Uni Soviet dari Afganistan (1989), bubarnya Pakta Warsawa, maka dianggap Perang Dingin yang berlangsung selama kurang lebih 45 tahun telah berakhir.
Walaupun demikian, dengan berakhirnya Perang Dingin, peredaan ketegangan di dunia belum berakhir. Malah timbul pergolakan-pergolakan baru seperti yang terjadi di Timur Tengah (perang teluk), Perang Saudara di Yugoslavia, timbulnya kekuatan baru di Asia Pasifik (Cina dan Jepang), tanda-tanda damai di dunia belum lagi nampak.[5]


[1] A. Fahrurodji. 2005. Rusia Baru Menuju Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal.163-168.
[2] Rasyid Hamidi dan Sugeng Riadi. 1992. Sejarah Eropa Terbaru. IKIP Muhammadiyah Jakarta. Hal. 100.
[3] William L. Bradley dan Mochtar Lubis. 1991. dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika Serikat dan Asia. Yayasan obor Indonesia, Jakarta. Hal. 94-96
[4] William L. Bradley dan Mochtar Lubis. 1991. dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika Serikat dan Asia. Yayasan obor Indonesia, Jakarta. Hal. 103-106
[5] Rasyid Hamidi dan Sugeng Riadi. 1992. Sejarah Eropa Terbaru. IKIP Muhammadiyah Jakarta. Hal. 101.

1 komentar: